I.
PEMBAHASAN
1.1
Realistic
Mathematics Education (RME)
Realistic
Mathematics Education (RME) merupakan salah satu pendekatan pembelajaran
matematika yang berorientasi pada matematisasi pengalaman sehari-hari dan
menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.
Realistic
Mathematics Education (RME) merupakan teori pembelajaran
matematika yang dikembangkan di negeri Belanda oleh Freudhenthal pada tahun
1973. Menurut Freudhental matematika merupakan aktivitas manusia (mathematics as a human activity) dan harus
dikaitkan dengan realita (de Lang, 1999; Gravemeijer, 1994).
Berdasarkan hasil The Third
International Mathematics and Science Study (TIMSS) tahun 2000.
Menurut Freudhenthal, aktivitas pokok yang dilakukan dalam RME meliputi:
a. Menemukan
masalah-masalah atau soal-soal kontekstual (looking for problems).
b. Memecahkan
masalah (problem solving).
c. Mengorganisasikan
bahan ajar (organizing a subject matter).
Hal ini dapat berupa realitas-realitas
yang perlu diorganisasikan secara matematis dan juga ide-ide matematika yang
perlu diorganisasikan dalam konteks yang lebih luas. Kegiatan pengorganisasian
ini disebut matematisasi.
Terkait
dengan aktivitas matematisasi dalam belajar matematika, Freudenthal (dalam
Panhuizen, 1996: 11) menyebutkan dua jenis matematisasi yaitu matematisasi
horisontal dan vertikal dengan penjelasan seperti berikut:
1.
Matematisasi horisontal menyangkut proses transformasi masalah
nyata atau sehari-hari ke dalam bentuk simbol.
Contoh:
Matematisasi horisontal adalah pengidentifikasian, perumusan dan
pemvisualisasian masalah dengan cara-cara yang berbeda oleh siswa.
2.
Matematisasi vertikal merupakan proses yang terjadi dalam lingkup
simbol matematika itu sendiri.
Contoh:
Matematisasi vertikal adalah presentasi hubungan-hubungan dalam
rumus, menghaluskan dan menyesuaikan model matematika, penggunaan model-model
yang berbeda, perumusan model matematika dan penggeneralisasian.
Berdasarkan matematisasi horisontal dan vertikal, pendekatan dalam pendidikan
matematika dapat dibedakan menjadi empat jenis yaitu pendekatan mekanistik,
empiristik, strukturalistik, dan realistik (dalam Depdiknas, 2005: 95).
1. Pendekatan Mekanistik
Pendekatan mekanistik merupakan
pendekatan tradisional dan didasarkan pada apa yang diketahui dari pengalaman
sendiri (diawali dari yang sederhana ke yang lebih kompleks). Dalam pendekatan
ini manusia dianggap sebagai mesin. Jenis matematisasi ini tidak digunakan.
2. Pendekatan Empiristik
Pendekatan empiristik adalah
suatu pendekatan dimana konsep-konsep matematika tidak diajarkan, dan
diharapkan siswa dapat menemukan melalui matematisasi horisontal.
3. Pendekatan Strukturalistik
Pendekatan
strukturalistik merupakan pendekatan yang menggunakan sistem formal,
misalnya pengajaran penjumlahan cara panjang perlu didahului dengan nilai
tempat, sehingga suatu konsep dicapai melalui matematisasi vertikal.
4. Pendekatan Realistic
Pendekatan realistik adalah
suatu pendekatan yang menggunakan masalah realistik sebagai pangkal tolak
pembelajaran. Melalui aktivitas matematisasi horisontal dan vertikal diharapkan
siswa dapat menemukan dan mengkonstruksi konsep-konsep matematika.
Tabel Tipe Pendekatan
Pembelajaran Matematika
|
Tipe
|
Matematika Horizontal
|
Matematika Vertikal
|
|
Mekanistik
|
-
|
-
|
|
Empiristik
|
+
|
-
|
|
Strukturalistik
|
-
|
+
|
|
Realistik
|
+
|
+
|
Sumber
: Freudenthal, (1991 : 48)
Tanda “+” berarti perhatian besar yang
diberikan oleh suatu jenis pendekatan terhadap jenis matematisasi tertentu,
sedangkan tanda “-“ berarti kecil atau tidak ada sama sekali tekanan suatu
jenis pendekatan terhadap jenis matematisasi tertentu. Berdasar hal ini tampak
bahwa pembelajaran matematika dengan pendekatan realistik memberi perhatian
yang cukup besar, baik pada kegiatan matematisasi horisontal maupun vertikal
jika dibandingkan dengan tiga pendekatan yang lain.
2.2.1
Prinsip-prinsip
Realistic Mathematic Education (RME)
Menurut
Gravemeijer (1994: 90-91) dalam pembelajaran matematika yang menggunakan
pendekatan RME terdapat tiga prinsip utama yaitu:
1) Penemuan
Kembali Terbimbing (Guided Reinvention)
dan Matematisasi Progresif (Progressive
Mathematization)
Menurut Gravemijer (1994: 90), berdasar prinsip reinvention, para siswa semestinya
diberi kesempatan untuk mengalami proses yang sama dengan proses saat
matematika ditemukan. Sejarah matematika dapat dijadikan sebagai sumber
inspirasi dalam merancang materi pelajaran. Selain itu prinsip reinvention dapat pula dikembangkan
berdasar prosedur penyelesaian informal. Dalam hal ini strategi informal dapat dipahami
untuk mengantisipasi prosedur penyelesaian formal. Untuk keperluan tersebut
maka perlu ditemukan masalah kontekstual yang dapat menyediakan beragam
prosedur penyelesaian serta mengindikasikan rute pembelajaran yang berangkat
dari tingkat belajar matematika secara nyata ke tingkat belajar matematika
secara formal (progressive mathematizing).
2) Fenomenologi
Didaktis (Didactical Phenomenology)
Yang dimaksud fenomenologi didaktis
adalah para siswa dalam mempelajari konsep-konsep, prinsip-prinsip atau materi
lain yang terkait dengan matematika bertolak dari masalah-masalah kontekstual
yang mempunyai berbagai kemungkinan solusi, atau setidaknya dari masalah-masalah
yang dapat dibayangkan siswa sebagai masalah nyata.
Gravemeijer (1994: 90) menyatakan, berdasar prinsip ini penyajian
topik-topik matematika yang termuat dalam pembelajaran matematika realistik
disajikan atas dua pertimbangan yaitu:
1.
Memunculkan ragam aplikasi yang harus
diantisipasi dalam proses pembelajaran.
2.
Kesesuaiannya sebagai hal yang berpengaruh
dalam proses progressive mathematizing.
3) Mengembangkan
Model-model Sendiri (Self-Developed Model)
Yang dimaksud mengembangkan model adalah
dalam mempelajari konsep-konsep, prinsip-prinsip atau materi lain yang terkait
dengan matematika, dengan melalui masalah-masalah konteksual, siswa perlu mengembangkan
sendiri model-model atau cara-cara menyelesaikan masalah tersebut. Model-model
atau cara-cara tersebut dimaksudkan sebagai wahana untuk mengembangkan proses
berpikir siswa, dari proses berpikir yang paling dikenal siswa, ke arah proses
berpikir yang lebih formal. Jadi dalam pembelajaran guru tidak memberikan
informasi atau menjelaskan tentang cara penyelesaian masalah, tetapi siswa
sendiri yang menemukan penyelesaian tersebut dengan cara mereka sendiri.
2.2.2
Karakteristik
Realistic Mathematic Education (RME)
Menurut Zulkardi (dalam Kania, 2006:19),
pedekatan matematika realistik memiliki lima karakteristik, yaitu:
1. The Use of Context
(Penggunaan Konteks)
Konteks dalam PMR ini adalah konteks
“Dunia Nyata” yang tidak hanya sebagai sumber matematisasi tetapi juga sebagai
tempat untuk mengaplikasikan kembali matematika. Pembelajaran matematika
realistik diawali dengan masalah-masalah yang nyata, sehingga siswa dapat
menggunakan pengalaman sebelumnya secara langsung. Proses pencarian (inti) dari
proses yang sesuai dari situasi nyata yang dinyatakan oleh De Lange (1987)
sebagai matematisasi konseptual. Dengan pembelajaran matematika realistik siswa
dapat mengembangkan konsep yang lebih komplit. Kemudian siswa juga dapat
mengaplikasikan konsep-konsep matematika ke bidang baru dan dunia nyata. Oleh
karena itu untuk membatasi konsep-konsep matematika dengan pengalaman
sehari-hari perlu diperhatikan matematisasi pengalaman sehari-hari dan
penerapan matematika dalam sehari-hari.
2. The Use of Models
(Penggunaan Model)
Istilah model ini berkaitan dengan model
situasi dan model matematika yang dikembangkan oleh siswa sendiri. Dan berperan
sebagai jembatan bagi siswa dari situasi real ke situasi abstrak atau dari
matematika informal ke matematika formal. Artinya siswa membuat model sendiri
dalam menyelesaikan masalah. Model situasi merupakan model yang dekat dengan
dunia nyata siswa. Generalisasi dan formalisasi model tersebut. Melalui
penalaran matematika model-of akan bergeser menjadi model-for masalah yang
sejenis. Pada akhirnya akan menjadi model matematika formal.
3. The Use of Students Own Production
and Construction (Penggunaan Kontribusi dari Siswa
Sendiri)
Menggunakan produksi dan konstruksi, Streefland
(1991) menekankan bahwa dengan pembuatan “produksi bebas” siswa terdorong untuk
melakukan refleksi pada bagian yang mereka anggap penting dalam proses belajar.
Strategi-strategi formal siswa yang berupa prosedur pemecahan masalah
konstekstual merupakan sumber inspirasi dalam pengembangan pembelajaran lebih
lanjut yaitu untuk mengkonstruksi pengetahuan matematika formal.
4. The Interactive Character of
Teaching Process (Interaktifitas dalam Proses Pengajaran)
Interaktif antara siswa dengan guru
merupakan hal yang mendasar dalam pembelajaran matematika realistik.
Bentuk-bentuk interaktif antara siswa dengan guru biasanya berupa negoisasi,
penjelasan, pembenaran, setuju, tidak setuju, pertanyaan, digunakan untuk
mencapai bentuk formal dari bentuk-bentuk informal siswa.
5. The Intergration of Various Learning Strands
(Terintegrasi dengan Berbagai Topik Pengajaran Lainnya)
Menggunakan keterkaitan dalam
pembelajaran matematika realistik. Dalam pembelajaran ada keterkaitan dengan
bidang yang lain, jadi kita harus memperhatikan juga bidang-bidang yang lainnya
karena akan berpengaruh pada pemecahan masalah. Dalam mengaplikasikan
matematika biasanya diperlukan pengetahuan yang kompleks, dan tidak hanya
aritmatika, aljabar, atau geometri tetapi juga bidang lain.
Karakteristik RME, menurut de Lange (1987)
dan Gravemeijer (1994), sebagai penjabaran dari ketiga level Van Hiele,
Fenomenologi Didaktik Freudenthal dan Matematisasi Progresif Treffers (1991)
adalah sebagai berikut:
1. Penggunaan
konteks dalam eksplorasi secara fenomenologis (mathematics as human activity and the use of context)
2. Penggunaan
model atau penghubung sebagai jembatan untuk mengkonstruksi konsep matematisai
horisontal dan vertikal
3. Penggunaan
kreasi dan kontribusi siswa
4. Sifat
interaktif proses pembelajaran
5. Saling
berkaitan antara aspek-aspek atau unit-unit matematika (intertwinement)
2.2.3
Langkah-langkah
Realistic Mathematics Education (RME)
Meninjau karakteristik interaktif dalam
pembelajaran matematika realistik di atas tampak perlu sebuah rancangan
pembelajaran yang mampu membangun interaksi antara siswa dengan siswa, siswa
dengan guru, atau siswa dengan lingkungannya. Dalam hal ini, Asikin (2001: 3)
berpandangan perlunya guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk
mengkomunikasikan ide-idenya melalui presentasi individu, kerja kelompok, diskusi
kelompok, maupun diskusi kelas. Negosiasi dan evaluasi sesama siswa dan juga
dengan guru adalah faktor belajar yang penting dalam pembelajaran konstruktif
ini. Implikasi dari adanya aspek sosial yang cukup tinggi dalam aktivitas
belajar siswa tersebut maka guru perlu menentukan metode mengajar yang tepat
dan sesuai dengan kebutuhan tersebut. Salah satu metode mengajar yang dapat
memenuhi tujuan tersebut adalah memasukkan kegiatan diskusi dalam pembelajaran
siswa.
Menurut Kemp (1994: 169) diskusi adalah
bentuk pengajaran tatap muka yang paling umum digunakan untuk saling tukar
informasi, pikiran dan pendapat. Lebih dari itu dalam sebuah diskusi proses
belajar yang berlangsung tidak hanya kegiatan yang bersifat mengingat informasi
belaka, namun juga memungkinkan proses berfikir secara analisis, sintesis dan
evaluasi. Selanjutnya perlu pula ditentukan bentuk diskusi yang hendak
dilaksanakan dengan mempertimbangkan kondisi kelas yang ada. Misalkan jika
pembelajaran dilakukan dalam sebuah kelas yang pada umumnya beranggotakan 40
sampai 44 siswa dengan penempatan siswa yang sulit untuk membentuk kelompok
diskusi besar, maka interaksi antar siswa dimunculkan melalui diskusi kelompok
kecil secara berpasangan selain diskusi kelas.
Mendasarkan pada kondisi kelas seperti
uraian di atas serta beberapa karakteristik dan prinsip pembelajaran matematika
realistik, maka Soedjadi (2001: 3) menyatakan bahwa dalam pembelajaran
matematika realistik juga diperlukan upaya “mengaktifkan siswa”. Upaya itu
dapat diwujudkan dengan langkah-langkah:
1. Memahami
masalah kontekstual
Pada langkah ini guru menyajikan masalah
kontekstual kepada siswa. Selanjutnya guru meminta siswa untuk memahami masalah
itu terlebih dahulu.
Karakteristik pembelajaran matematika
realistik yang muncul pada langkah ini adalah menggunakan konteks. Penggunaan
konteks terlihat pada penyajian masalah kontekstual sebagai titik tolak
aktivitas pembelajaran siswa.
2. Menjelaskan
masalah kontekstual
Langkah ini ditempuh saat siswa
mengalami kesulitan memahami masalah kontekstual. Pada langkah ini guru
memberikan bantuan dengan memberi petunjuk atau pertanyaan seperlunya yang
dapat mengarahkan siswa untuk memahami masalah.
Karakteristik pembelajaran matematika
realistik yang muncul pada langkah ini adalah interaktif, yaitu terjadinya
interaksi antara guru dengan siswa maupun antara siswa dengan siswa. Sedangkan
prinsip guided reinvention setidaknya
telah muncul ketika guru mencoba memberi arah kepada siswa dalam memahami
masalah.
3. Menyelesaikan
masalah kontekstual
Pada tahap ini siswa didorong
menyelesaikan masalah kontekstual secara individual berdasar kemampuannya
dengan memanfaatkan petunjuk-petunjuk yang telah disediakan. Siswa mempunyai
kebebasan menggunakan caranya sendiri. Dalam proses memecahkan masalah,
sesungguhnya siswa dipancing atau diarahkan untuk berfikir menemukan atau
mengkonstruksi pengetahuan untuk dirinya. Pada tahap ini dimungkinkan bagi guru
untuk memberikan bantuan seperlunya (scaffolding)
kepada siswa yang benar-benar memerlukan bantuan.
Pada tahap ini, dua prinsip pembelajaran
matematika realistik yang dapat dimunculkan adalah guided reinvention and progressive mathematizing dan self-developed models. Sedangkan
karakteristik yang dapat dimunculkan adalah penggunaan model. Dalam
menyelesaikan masalah siswa mempunyai kebebasan membangun model atas masalah
tersebut.
4. Membandingkan
dan mendiskusikan jawaban
Pada tahap ini guru mula-mula meminta
siswa untuk membandingkan dan mendiskusikan jawaban dengan pasangannya. Diskusi
ini adalah wahana bagi sepasang siswa mendiskusikan jawaban masing-masing. Dari
diskusi ini diharapkan muncul jawaban yang dapat disepakati oleh kedua siswa.
Selanjutnya guru meminta siswa untuk membandingkan dan mendiskusikan jawaban
yang dimilikinya dalam diskusi kelas. Pada tahap ini guru menunjuk atau
memberikan kesempatan kepada pasangan siswa untuk mengemukakan jawaban yang
dimilikinya ke muka kelas dan mendorong siswa yang lain untuk mencermati dan
menanggapi jawaban yang muncul di muka kelas.
Karakteristik pembelajaran matematika
realistik yang muncul pada tahap ini adalah interaktif dan menggunakan
kontribusi siswa. Interaksi dapat terjadi antara siswa dengan siswa juga antara
guru dengan siswa. Dalam diskusi ini kontribusi siswa berguna dalam pemecahan
masalah.
5. Menyimpulkan
Dari hasil diskusi kelas guru
mengarahkan siswa untuk menarik kesimpulan mengenai pemecahan masalah, konsep,
prosedur atau prinsip yang telah dibangun bersama. Pada tahap ini karakteristik
pembelajaran matematika realistik yang muncul adalah interaktif serta menggunakan
kontribusi siswa.
2.2.4
Aplikasi
Realistic Mathematics Education (RME)
Pembelajaran matematika realistik cocok
digunakan sebagai pengantar dan juga pada pelajaran inti dari suatu proses
pembelajaran. Pada pengantar pelajaran guru dapat memancing minat belajar siswa
dengan cara memberikan pertanyaan-pertanyaan tentang benda-benda di sekitar
siswa yang berhubungan dengan matematika. Sementara itu, pada pelajaran inti
guru dapat menggunakan metode pembelajaran yang sesuai dengan konsep PMR.
Misalnya diskusi, praktek langsung maupun melakukan pembelajaran di luar kelas.
Contoh materi yang dapat disampaikan
dengan menggunakan pembelajaran matematika realistik ini antara lain adalah
materi tentang pengukuran, bangun datar, dan bangun ruang.
v Penerapan Pendekatan RME pada Konsep Bangun Datar
Langkah-langkah pendekatan RME pada materi bangun datar,
yaitu:
a) Siswa membawa bangun datar yang terbuat dari kardus.
b) Siswa secara berkelompok mempelajari tentang luas persegi panjang.
c) Guru memberikan persoalan pada siswa tentang bagaimana
mencari luas bangun segitiga, belah ketupat, trapesium dan layang-layang.
d) Guru menginstruksikan pada tiap kelompok untuk mencari
luas bangun tersebut dari turunan rumus persegi panjang. Dengan cara memotong
bangun datar yang terbuat dari kardus agar menjadi persegi panjang seperti
contoh berikut ini:
(bangun jajar genjang sebelum dipotong)
![]() |
(bangun jajar genjang setelah dipotong)

Jadi luas jajaran genjang adalah alas jajar genjang
dikalikan tinggi jajar genjang sesuai luas dari persegi panjang.
e) Guru mempersilakan beberapa siswa untuk menjelaskan
tentang permasalahan yang mereka pahami.
f) Siswa saling bekerja sama untuk menyelesaikan permasalahn
secara berkelompok.
g) Guru memberikan waktu untuk tiap-tiap kelompok
membandingkan dan mendiskusikan jawaban mereka.
h) Guru mengarahkan pada siswa untuk menyimpulkan jawaban
dari pemasalahan.
2.2.5
Kelebihan
dan Kekurangan Realistic Mathematics Education (RME)
Ø Model
pembelajaran matematika realistik ini memiliki beberapa kelebihan dan kelemahan
(Marpaung, 2001).
·
Kelebihan
a. Siswa
tidak mudah lupa dengan pengetahuan yang
ia dapatkan
b. Proses
pembelajaran menyenangkan
c. Siswa
merasa dihargai dan semakin terbuka
d. Memupuk
kerjasama dalam kelompok
e. Melatih
keberanian siswa dalam menjawab soal-soal
f. Melatih
siswa untuk terbiasa berfikir dan mengemukakan pendapat
g. Pendidikan
budi pekerti, misalnya saling kerjasama dan menghormati teman yang sedang
berbicara
·
Kelemahan:
a. Siswa
masih kesulitan dalam menemukan penyelesaian soal-soal sendiri
b.
Membutuhkan waktu yang relatif lama terutama
bagi siswa yang lemah
c.
Siswa yang pandai kadang-kadang tidak
sabar untuk menanti temannya yang belum selesai
d. Membutuhkan
alat peraga yang sesuai dengan situasi pembelajaran
e. Belum
ada pedoman penilaian sehingga guru merasa kesulitan dalam evaluasi
Ø Menurut
pendapat Suwarsono (2001: 5) terdapat beberapa kelebihan Pembelajaran
Matematika Realistik (PMR) antara lain:
1. PMR
memberikan pengertian yang jelas dan operasional kepada siswa tentang
keterkaitan antara matematika dengan kehidupan sehari-hari (kehidupan dunia
nyata) dan kegunaan matematika pada umumnya bagi manusia.
2. PMR
memberikan pengertian yang jelas dan operasional kepada siswa bahwa matematika
adalah suatu bidang kajian yang dikonstruksi dan dikembangkan sendiri oleh
siswa tidak hanya oleh mereka yang disebut pakar dalam bidang tersebut.
3. PMR
memberikan pengertian yang jelas dan operasional kepada siswa bahwa cara
penyelesaian suatu soal atau masalah tidak harus tunggal, dan tidak harus sama
antara orang yang satu dengan orang yang lain.
4. PMR
memberikan pengertian yang jelas dan operasional kepada siswa bahwa dalam
mempelajari matematika, proses pembelajaran merupakan sesuatu yang utama, dan
untuk memperlajari matematika orang harus menjalani prose situ dan berusaha
untuk menemukan sendiri konsep-konsep matematika, dengan bantuan pihak lain
yang sudah lebih tahu (misalnya guru).
Ø Sedangkan
beberapa kelemahan PMR, menurut Suwarsono (2001) yang merupakan tantangan yang
akan dihadapi guru dalam pelaksanaan PMR, antara lain:
1. Upaya
mengimplementasikan PMR membutuhkan banyak perubahan paradigma bagi guru,
siswa, peranan sosial, peranan konteks dan peranan alat peraga.
2. Pencarian
soal-soal kontekstual yang memenuhi syarat-syarat yang dituntut PMR tidak mudah
untuk setiap topik matematika yang perlu dipelajari siswa, terlebih-lebih
karena soal-soal tersebut harus bisa diselesaikan dengan bermacam-macam cara.
3. Upaya
mendorong siswa agar bisa menemukan berbagai cara untuk menyelesaikan soal juga merupakan hal yang tidak mudah dilakukan
oleh guru.
4. Proses
pengembangan kemampuan berpikir siswa, melalui soal-soal kontekstual, proses
matematisasi horisontal dan proses matematisasi vertikal juga bukan merupakan
sesuatu yang sederhana, karena proses dan mekanisme berpikir siswa harus
diikuti dengan cermat, agar guru bisa membantu siswa dalam melakukan penemuan
kembali konsep-konsep matematika tertentu.
1.2
Pendidikan Matematika Realistik Indonesia (PMRI)
Terkait dengan pendekatan pembelajaran
matematika, pendekatan matematika realistik saat ini sedang dikembangkan di
Indonesia, yang selanjutnya dikenal dengan Pendidikan Matematika Realistik
Indonesia (PMRI). Pendekatan ini merupakan adaptasi dari pendekatan Realistic Mathematics Education (RME)
yang dikembangkan di Belanda oleh Freudenthal. PMRI merupakan pendekatan
pembelajaran yang menekankan aktivitas insani, dalam pembelajarannya digunakan
konteks yang sesuai dengan situasi di Indonesia.
Dasar filosofi yang digunakan dalam PMRI
adalah kontruktivisme yaitu dalam memahami suatu konsep matematika siswa
membangun sendiri pemahaman dan pengertiannya. Karakteristik dari pendekatan
ini adalah memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada siswa untuk
mengkonstruksi atau membangun pemahaman dan pengertiannya tentang konsep yang
baru dipelajarinya.
Menurut Zulkardi (2000) PMRI adalah
pendekatan pembelajaran yang bertitik tolak dari hal-hal yang “real” bagi
siswa, menekankan keterampilan “proses
of doing mathematics”, berdiskusi berkolaborasi berargumentasi dengan teman
sekelas sehinga dapat menemukan sendiri dan pada akhirnya menggunakan matematika
itu untuk menyelesaikan masalah baik secara individu maupun kelompok.
Pendidikan Matematika Realistik
Indonesia mulai diujicobakan di Indonesia pada tahun 2002. Pada awalnya
terdapat empat Universitas yang terlibat dalam pengembangan PMRI, yaitu UPI
Bandung, UNY Yogyakarta, USD Yogyakarta dan UNESA Surabaya. Masing-masing
Universitas tersebut melakukan uji coba pada dua Sekolah Dasar (SD) dan satu
MIN (Madrasah Ibtidaiyah Negeri). Uji coba tersebut dilaksanakan mulai kelas
satu dan uji coba sudah sampai pada kelas 6. Untuk melengkapi proses
pembelajaran telah disusun perangkat pembelajaran yang terdiri dari Buku Guru,
Buku Siswa dan Lembar Aktifitas Siswa (LAS) yang disusun oleh TIM PMRI dari ke
empat Universitas tersebut.
1.2.1
Standar Penjaminan Mutu PMRI
Untuk melengkapi karakteristik RME, tim
pengembang PMRI dalam Quality Assurance Conference yang
diadakan di Yogyakarta tanggal 17-18 April 2009 sepakat menetapkan beberapa
standar penjaminan mutu PMRI. Standar yang ditetapkan diantaranya meliputi
standar guru PMRI, standar pembelajaran PMRI, dan standar bahan ajar PMRI.
Standar tersebut dapat digunakan dan diacu para guru matematika. Berikut ini
adalah standar dimaksud yang berkaitan dengan guru matematika.
a. Standar
Guru PMRI
1. Guru
memiliki pengetahuan dan keterampilan yang memadai tentang matematika dan PMRI
serta dapat menerapkannya dalam pembelajaran matematika untuk menciptakan
lingkungan belajar yang kondusif.
2. Guru
memfasilitasi siswa dalam berfikir, berdiskusi, dan bernegosiasi untuk
mendorong inisiatif dan kreativitas
3. Guru
mendampingi dan mendorong siswa agar berani mengungkapkan gagasan dan menemukan
strategi pemecahan masalah menurut mereka sendiri.
4. Guru
mengelola kelas sedemikian sehingga mendorong siswa bekerja sama dan berdiskusi
dalam rangka pengkonstruksian pengetahuan siswa.
5. Guru
bersama siswa menyarikan (summarize) fakta, konsep, dan prinsip
matematika melalui proses refleksi dan konfirmasi.
b. Standar
Pembelajaran Menurut PMRI
1. Pembelajaran
dapat memenuhi tuntutan ketercapaian standar kompetensi dalam kurikulum.
2. Pembelajaran
diawali dengan masalah realistik sehingga siswa termotivasi dan terbantu
belajar matematika.
3. Pembelajaran
memberi kesempatan pada siswa mengeksplorasi masalah yang diberikan guru dan
berdiskusi sehingga siswa dapat saling belajar dalam rangka pengkonstruksian
pengetahuan.
4. Pembelajaran
mengaitkan berbagai konsep matematika untuk membuat pembelajaran lebih bermakna
dan membentuk pengetahuan yang utuh.
5. Pembelajaran
diakhiri dengan refleksi dan konfirmasi untuk menyarikan fakta, konsep, dan
prinsip matematika yang telah dipelajari dan dilanjutkan dengan latihan untuk
memperkuat pemahaman.
c. Standar
Bahan Ajar PMRI
1. Bahan
ajar yang disusun sesuai dengan kurikulum yang berlaku.
2. Bahan
ajar menggunakan permasalahan realistik untuk memotivasi siswa dan membantu
siswa belajar matematika.
3. Bahan
ajar memuat berbagai konsep matematika yang saling terkait sehingga siswa
memperoleh pengetahuan matematika yang bermakna dan utuh.
4. Bahan
ajar memuat materi pengayaan yang mengakomodasi perbedaan cara dan kemampuan
berpikir siswa.
5. Bahan
ajar dirumuskan atau disajikan sedemikian sehingga mendorong atau memotivasi
siswa berpikir kritis, kreatif, inovatif serta berinteraksi dalam belajar.
1.2.2
Refleksi dan Penilaian dalam Pembelajaran PMRI
Dalam setiap pembelajaran, refleksi
merupakan suatu hal yang utama untuk memberikan gambaran mengenai proses
belajar mengajar yang telah berlangsung sebelumnya. Refleksi merupakan suatu
kegiatan dengan menyimak kembali secara intensif terhadap proses pembelajaran,
antara lain materi pelajaran, pengalaman, ide-ide, usul-usul, atau reaksi
spontan agar dapat memahami dan menangkap maknanya secara lebih mendalam.
Dengan demikian, akan mampu mengungkap tentang apa yang sudah dan sedang
dikerjakan. Apakah yang dikerjakan itu sesuai dengan apa yang dipikirkan?
Dengan adanya refleksi guru dapat mengetahui perkembangan pembelajaran yang
dilakukan. Hasil dari refleksi dapat menjadi gambaran bagi guru dalam mengambil
tindakan dalam kegiatan selanjutnya. Pentingnya refleksi dinyatakan Supinah
(2009 : 78) sebagai berikut:
1.
Bagi guru
Mendapatkan informasi tentang apa yang
dipelajari siswa dan bagaimana siswa mempelajarinya. Disamping itu, guru dapat
melakukan perbaikan dalam perencanaan dan pembelajaran pada
kesempatan-kesempatan berikutnya atau waktu yang akan datang.
2.
Bagi siswa
Meningkatkan kemampuan berfikir
matematika siswa, disamping itu juga sama halnya seperti yang dilakukan guru.
Tentang hal-hal yang perlu dalam
refleksi menurut Arvold, Turner, dan Cooney dalam Supinah (2009: 79) merekomendasikan
siswa untuk memberi jawaban atau respon terhadap pertanyaan-pertanyaan berikut
ini:
1. Apa
yang saya pelajari hari ini?
2. Kesulitan
apakah yang saya pelajari hari ini?
3. Bagian
matematika manakah yang saya suka?
4. Pada
bagian matematika manakah saya mengalami kesulitan?
Dari
pihak guru, dalam melakukan refleksi baik jika dapat mengikutsertakan metode
mengajar, pedagogi, penyelesaian yang menarik dan bermanfaat baginya serta
bagaimana mengelola suasana belajar yang baik dalam kelas. Dalam RME, penilaian
bukan hanya pada hasil akhir, tetapi juga pada proses pembelajaran itu sendiri.
Idealnya, selama kegiatan pembelajaran, proses penilaian pun dilaksanakan. Ada
banyak hal yang dapat digunakan sebagai sarana untuk melaksanakan penilaian.
Diantaranya, kemampuan siswa dalam memecahkan masalah dengan menggunakan
strategi yang berbeda, interaksi siswa, diskusi selama proses belajar.
Tujuan
dilaksanakannya penilaian untuk memberi gambaran informasi tentang proses
belajar mengajar yang telah dilaksanakan dan dapat juga sebagai alat untuk
membantu proses pengambilan keputusan.
De
Lange (1987) dalam Zulkardi (2002: 35) “merumuskan lima prinsip panduan
penaksiran atau penilaian dalam RME”, seperti berikut:
1.
Tujuan utama pengujian adalah untuk
memperbaiki proses belajar-mengajar.
2.
Metode penilaian sebaiknya dapat
memudahkan para siswa mendemonstrasikan apa yang mereka tahu daripada apa yang
tidak tahu.
3. Penilaian
sebaiknya mengoperasionalkan semua tujuan pendidikan matematika.
4.
Kualitas penilaian matematika tidak
ditentukan oleh kemudahan akses terhadap penilaian objektif.
5.
Alat penilaian sebaiknya praktis, cocok
dengan praktek sekolah umum.
2.3.4
Sintaks
Pembelajaran PMRI
Marpaung
(2006: 1) dalam selebaran sajian menuliskan sintaks pembelajaran PMRI sebagai
berikut:
1. Pembukaan
2. Penyampaian tujuan pembelajaran
3. Penegasan tentang disiplin
4. Penyampaian strategi pembelajaran
5. Proses pembelajaran
a.
Dimulai
dengan masalah kontekstual/realistik
b.
Siswa
diberi kesempatan menyelesaikan masalah dengan memilih strategi sendiri
(disampaikan batasan waktu)
c.
Guru
memfasilitasi, antara lain dengan menyiapkan alat peraga
d.
Selanjutnya beberapa siswa menjelaskan caranya menyelesaikan
masalah informal. Jangan mengintervensi, biarkan siswa selesai mengutarakan
idenya
e.
Diskusi
kelas: dipimpin oleh guru
f.
Penyampaikan
tugas berikut:
1. menggambar atau membuat skema
2. siswa menyajikan hasil yang diperoleh
3. tanggapan siswa lain
g.
Diskusi
kelas dipimpin oleh guru
h.
Guru
meminta siswa merefleksi materi yang baru saja dipelajari
i.
Guru
secara perlahan membawa siswa ke matematika formal
j.
Asesmen: berkelanjutan dengan penilaian
autentik
2.3.5
Contoh RPP PMRI
RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN
(RPP)
NamA Sekolah : SMP Negeri 259
Jakarta
Mata Pelajaran : Matematika
Kelas / Semester : VII/ 2
Materi
Pokok : Transformasi
Alokasi
Waktu : 2 x 40 menit
A.
Kompetensi Inti :
1.
Menghargai dan menghayati ajaran agama
yang dianutnya.
2.
Menghargai dan menghayati perilaku
jujur, disiplin, tanggungjawab, peduli (toleransi, gotong royong), santun,
percaya diri, dalam berinteraksi secara efektif dengan lingkungan sosial dan
alam dalam jangkauan pergaulan dan keberadaannya.
3.
Memahami pengetahuan (faktual,
konseptual, dan prosedural) berdasarkan rasa ingin tahunya tentang ilmu
pengetahuan, teknologi, seni, budaya terkait fenomena dan kejadian tampak mata.
4.
Mencoba, mengolah, dan menyaji dalam
ranah konkret (menggunakan, mengurai, merangkai, memodifikasi, dan membuat) dan
ranah abstrak (menulis, membaca, menghitung, menggambar, dan mengarang) sesuai
dengan yang dipelajari di sekolah dan sumber lain yang sama dalam sudut
pandang/teori.
B.
Kompetensi Dasar :
2.1
Menunjukkan sikap logis, kritis,
analitik, konsisten dan teliti, bertanggung jawab, responsif, dan tidak mudah
menyerah dalam memecahkan masalah.
3.9
Memahami konsep transformasi (dilatasi,
translasi, pencerminan, rotasi) menggunakan objek-objek geometri Mendeskripsikan lokasi benda
dalam koordinat kartesius
4.6
Menerapkan prinsip-prinsip transformasi (dilatasi,
translasi, pencerminan, rotasi) dalam memecahkan permasalahan nyata.
C.
Indikator:
2.1
Menunjukkan
sikap kritis dalam menyelesaikan masalah
3.9
Menyelesaikan
permasalahan yang berkaitan dengan transformasi (Refleksi, Translasi, Dilatasi
dan Rotasi)
4.6
Menerapkan
prinsip-prinsip Transformasi (Refleksi, Translasi, Dilatasi dan Rotasi) dalam
memecahkan permasalahan nyata
D.
TujuanPembelajaran :
2.1
Diberikan
pertanyaan yang berkaitan dengan Transformasi, siswa dapat menjawab dengan
benar.
3.9
Diberikan
permasalahan yang berkaitan dengan Transformasi, siswa dapat menyelesaikannya
dengan benar.
4.6
Diberikan
permasalahan yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari, siswa dapat
menyelesaikannya menggunakan prinsip-prinsip transformasi dengan tepat.
E.
Materi Pembelajaran :
Transformasi
F.
Metode/Model Pembelajaran :
-
Pendekatan Pembelajaran : Pendekatan Scientific
-
Metode : Ekspositori
-
Model : Pembelajaran Langsung
G.
Langkah-langkah
Kegiatan Pembelajaran
|
Kegiatan
|
Deskripsi
|
Alokasi Waktu
|
|
Pendahuluan
|
Fase 1
- Meenyampaikan Tujuan dan mempersiapkan siswa
1. Guru memotivasi siswa dengan mengaitkan materi
pelajaran dengan kehidupan sehari-hari agar siswa tertarik untuk mengikuti
pelajaran.
2. Guru melakukan apersepsi dengan menggunakan
kejadian yang analog dengan materi untuk membangun pemahaman siswa
3. Guru menyampaikan tujuan pembelajaran yang ingin
dicapai yaitu menyelesaikan permasalahan yang berkaitan dengan transformasi.
|
5 menit
|
|
Inti
|
Fase 2
- Mendemonstrasikan pengetahuan atau ketrampilan
1. Guru menjelaskan tentang konsep Refleksi.
(mengamati)
2. Guru membantu memantapkan pemahaman siswa dengan
membuat representasi dalam diagram Cartesius. (mengamati).
Fase 3
- Membimbing Latihan Siswa
1. Guru memberikan soal yang berkaitan dengan
Refleksi dan meminta siswa maju ke depan untuk mengerjakan. (mencoba)
2. Guru membimbing siswa yang mengalami kesulitan
dalam menyelesaikan masalah tentang Refleksi Hal ini akan mendorong siswa yang
belum memahami untuk bertanya. (menanya)
Fase 4
- Mengecek pemahaman dan memberikan umpan balik
1.
Memberikan
kuis kepada siswa berkaitan dengan Refleksi. (menalar)
2.
Memberikan
kesempatan kepada siswa yang ingin bertanya berkaitan dengan kuis yang telah
dikerjakan. (menanya)
|
65 menit
|
|
Penutup
|
1.
Guru memberikan penghargaan kepada semua kelompok atas
keberhasilannya dalam belajar hari ini
2.
Guru
bersama-sama dengan siswa menyimpulkan tentang materi yang telah dipelajari.
(membuat gambar pencerminan)
Fase 5
-
Memberikan
kesempatan untuk latihan lanjutan dan penerapan.
1. Guru memberikan PR kepada siswa dan meminta siswa
mempelajari materi selanjutnya.
2. Guru menutup pelajaran
|
11
menit
|
H.
Sumber/Bahan/Alat
Pembelajaran
1.
Buku Matematika
Kelas VII
2.
Bahan tayang
(Power point)
I.
Penilaian Hasil Belajar
- Teknik Penilaian : Pengamatan, tes tertulis
- Prosedur Penilaian
|
No
|
Aspek yang
dinilai
|
Teknik
Penilaian
|
Waktu
Penilaian
|
|
1
|
Sikap :
a. Menunjukkan sikap kritis saat kegiatan belajar
mengajar sedang berlangsung.
|
Pengamatan
|
Selama kegiatan pembelajaran
|
|
2
|
Pengetahuan :
a. Menyelesaikan permasalahan yang berkaitan dengan
Refleksi.
|
Tes tertulis
|
Pada saat penyerahan tugas
|
|
3
|
Ketrampilan :
a. Menerapkan prinsip-prinsip Refleksi dalam
memecahkan permasalahan nyata.
|
Tes tertulis
|
Pada saat penyerahan tugas
|
J.
Instrumen Penilaian
Tes tertulis
:
1. Jika titik A(–2,3) dicerminkan terhadap sumbu X, tentukan koordinat bayangan titik A.
2. Jika titik
C(a,b) dicerminkan terhadap sumbu Y, jika bayangan titik C adalah
C’(4,-7), tentukan koordinat titik
C.
Pedoman
penskoran tes tertulis
1.
x’ =
–2 ………………………………………..…………… (1)
y’ = – 3
…………………………………………..………… (1)
Jadi koordinat bayangan
titik A adalah A’(–2, –3) …….…. (2)
2.
x = – (4) …………………………………………………….. (1)
y
= –7 …………………………………………………….. (1)
Jadi
koordinat titik C adalah C(–4, –7) ……………..…….. (2)
Nilai =
(skor yang diperoleh : skor maksimum) x 100
Lembar
pengamatan Penilaian sikap
Mata
Pelajaran : Matematika
Kelas
: VII
Topik/Sub
Topik : Transformasi/Memahami
Konsep Refleksi
|
No
|
Nama Siswa
|
Sikap
|
Keterangan
|
||||
|
Kritis
|
Teliti
|
Kerjasama
|
Tanggungjawab
|
Tidak mudah menyerah
|
|
||
|
1
|
Anni Helena M
|
|
|
|
|
|
|
|
2
|
Agus Suroto
|
|
|
|
|
|
|
|
3
|
Bambang Suwisno
|
|
|
|
|
|
|
|
4
|
Dedy Hernayadi
|
|
|
|
|
|
|
|
5
|
Gunadi
|
|
|
|
|
|
|
|
6
|
Saut Sinaga
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Keterangan :
4
= Apabila selalu konsisten menunjukkan sikap sesuai aspek sikap
3
= Apabila sering konsisten menunjukkan sikap sesuai aspek sikap dan kadang-kadang
tidak sesuai aspek sikap
2
= Apabila kadang-kadang konsisten menunjukkan sikap sesuai aspek sikap dan
sering tidak sesuai aspek sikap
1 = Apabila tidak
pernah konsisten menunjukkan sikap sesuai aspek sikap
Materi :
Refleksi
-
Pencerminan titik A(a,b)
terhadap sumbu X menghasilkan bayangan A’(a’,b’),
dengan a”=a dan b’
= – b
![]() |
|
|
-
Pencerminan titik B(c,d)
terhadap sumbu menghasilkan
bayangan B’(c’,d’), dengan
c”=–c dan d’ = d
![]() |
|||
![]() |
|||
–
c c
Jakarta,
12 Juli 2014
Mengetahui,
Kepala
SMPN 259 Jakarta Guru Mata Pelajaran
Drs.
H. Bambang Sutapa, MM AGUS SUROTO, SPd.
NIP. 196104051990021001 NIP.196804161990031007
DAFTAR PUSTAKA
Asikin,
Mohammad. 2001. Komunikasi Matematika dalam RME. Makalah. Disajikan
dalam Seminar Nasional RME di Universitas Sanata Darma, Yogyakarta, 14-15
November 2001.
Asikin,
Mohammad. 2001. Realistic Mathematics Education (RME): Prospek dan
Alternatif Model Pembelajarannya. Makalah. Disajikan dalam Seminar
Nasional Matematika di Jurusan Matematika FMIPA UNNES, Semarang, 27 Agustus
2001.
De Lange, J. 1987. Mathematics, Insight
and Meaning. Dordrecht: Kluwer Academic Publisher.
De
Lange, J. 1987. Mathematics, Insight, and Meaning, Utrecht: OW & Co.
Depdiknas.
2003. Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003, tentang Sistem
Pendidikan Nasional.
Depdiknas. 2006. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Standar Kompetensi
SMP dan MTs. Jakarta: Depdiknas.
Freudenthal,
H. 1991. Revisiting mathematics education. Dordrecht: Kluwer Academic
Publishers.
Freudenthal.
H. 1973. Mathematics as an Educational Task. Dalam van den Heuvel Panhuizen.
1996. Assessment and Realistic Mathematics Education. Freudenthal
Institution. Utrecht.
Gravemeijer,
K. 1994. Developing Realistic Mathematics
Education. Utrecht: Freudental Institute.
Gravemeijer,
K. 1994. Developing Realistic Mathematics Education: onwikkelen van
relistich reken/wiskundeonderwijs (met een samenvatting in het nederlands).
Nederland: Universiteit Utrechte.
Kemp,
J. E. 1994. Proses Perancangan Pengajaran.
Terjemahan oleh: Asril Marjohan. Bandung: ITB.
Marpaung,
Y. 2001. Pendekatan Realistik dan Sani dalam Pembelajaran Matematika. Disajikan
dalam Seminar Nasional Pendidikan Matematika Realistik Indonesia di Universitas
Sanata Dharma tanggal 14-15 November 2001.
Marpaung, Y. 2006. Sintaks Pembelajaran dan Soal
PMRI. Disajikan dalam seminar pembelajaran matematika). Yogyakarta: PPPG
Matematika.
Muslich,
Masnur. 2007. KTSP Dasar Pemahaman dan Pengembangan. Jakarta : Bumi
Aksara.
Soedjadi,
R. 2001. Pemanfaatan realitas dan lingkungan dalam pembelajaran matematika.
(Makalah pada Seminar Nasional ‘Realistic
Mathematics Education’ di Jurusan Matematika FMIPA UNESA Surabaya).
Streefland,
Leen. 1991. Fraction in Realistic
Mathematics Education: A Paradigm of Developmental Research. Netherlands:
Kluwer Academic Publishers.
Supinah. 2007. Pembelajaran Matematika dengan
Model PMRI. Yogyakarta: PPPG Matematika.
Suryanto & Sugiman. 2003. Pembelajaran
Matematika Realistik (Disampaikan pada seminar Pendekatan realistik
dan sani dalam Pendidikan Matematika di Indonesia). Yogyakarta: Universitas
Sanata Dharma.
Suwarsono,
St. (2001). Beberapa Permasalahan yang Terkait dengan Upaya Implementasi
Pendidikan Matematika Realistik di Indonesia. Makalah disampaikan
dalam Seminar Nasional tentang PMR yang diselenggarakan di USD
Yogyakarta, 14-15 November 2001.
Bahri,
Syaiful & Zain, Aswan. 2002. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: PT.
Rineka Cipta.
Van
den Heuvel – Panhuizen, M. 1985. Assesment
and Realistic Mathematics Education. Freudenthal Institute: Untrecht
University.
Zulkardi.
2000. How To Design Mathematics Lesson Based On The Realistic Approach. Tersedia:http//www.geocities.com/ratuilma/rme.html.
[25 Juni 2003]. [online].
Zulkardi.
2002. Developing a Learning Envorinment
on Realistic Mathematics Education for Indonesian Students Teachers.
Thesis. University of Twente. Enschede: Printpartners Ipskamp.



